Mengapa Kita Tak Bisa Bikin Film Remaja Seperti Ini?
Lagu cinta melulu
Kita memang Melayu
...Suka mendayu-dayu
- Lagu Cinta Melulu, Efek Rumah Kaca
Demikianlah juga keadaannya dalam dunia film kita saat ini, bukan? aLagu yang sekaligus sebuah esai lugas tentang industri musik pop Indonesia dari grup indie Efek Rumah Kaca itu mengena juga pada industri film kita: tema mendayu-dayu yang itu-itu juga, khayalan cinta (atau, belakangan, seks) yang melambung-lambung selayaknya khayalan kekanakan ABG, dan pertimbangan pasar yang memelihara selera banal itu.
Mengenai apakah itu karena kita “Melayu” tentu perlu ada penelitian lebih jauh. Mungkin memang ada karakter budaya yang membentuk mentalitas Melayu pada masyarakat kita, mungkin juga tidak ada. Namun, stereotipe mendayu-dayu itu jelas tampak jika kita menderetkan judul-judul film cinta yang diproduksi sejak keberhasilan Ada Apa Dengan Cinta pada 2001 hingga keberhasilan Ayat-ayat Cinta tahun ini. Bahkan, film-film yang seolah penuh pemberontakan macam Cinta, Realita & Rock ‘n Roll dan Radit & Jani (keduanya karya Upi) pun jebul-nya melankolis juga.
1. Lanturan tentang film remaja kita
Menyebut film-film cinta kiwari buatan dalam negeri sebagai “film remaja” sebetulnya problematis juga. Setelah keberhasilan Ada Apa Dengan Cinta yang laris manis dan jadi film ikonik/generasional hingga saat ini, film-film cinta (drama cinta, kek; komedi cinta, kek) kita tampak benar diarahkan pada penonton remaja. Kaum ABG dan remaja memang konsumen mal –tempat bioskop-bioskop 21 umumnya– terbesar. Dan memang, bersama film-film horor kiwari kita sejak Jelangkung, film-film cinta mutakhir dikemas sebagai teen flick atau tontonan remaja.
Tapi, walau banyak yang dikemas sebagai film remaja, nyatanya sedikit saja yang murni film remaja –dalam arti, film yang menokohkan para remaja (kelompok usia 12-17 tahun) dan mengungkapkan masalah yang menghinggapi para remaja. Dari segi penokohan saja, banyak film-film cinta kita yang tak lagi menokohkan remaja. Kebanyakan bertokoh utama mahasiswa, bahkan banyak juga kaum profesional muda.
Misalnya, Radit & Jani, bertokohkan suami istri (keduanya pengangguran) . Mereka memang pasangan muda, dan pakaian serta gaya bicara mereka sangat “anak muda”, yang saya perhatikan memang cukup nyambung dengan para penonton ABG di Studio 21 Blok M. (Waktu saya ke WC bioskop, usai film, sekelompok ABG asyik meniru-niru gaya Vino Bastian sebagai Radit saat fly.) Tapi persoalan-persoalan mereka (cari uang buat bayar kontrakan, menghadapi mertua yang membenci menantu, cari uang buat ke dokter untuk periksa kehamilan) bukanlah persoalan khas remaja.
Ambil saja lagi contoh acak lain, Virgin. Tampang dan rasa film ini adalah film remaja, tapi tokoh-tokohnya jelas bukan. Begitu juga Love is Cinta, Cintapuccino, dan Heart. Film-film ini digemari para ABG, walau tokoh-tokohnya bukanlah remaja sekolahan. Tapi, satu hal tampak jelas: tokoh-tokoh dalam film-film “bukan remaja” itu berpolah dan berpikir selayak para remaja setengah matang dan belum dewasa. Masalah paling penting buat mereka adalah cinta romantis, pencarian afeksi (seringkali fisik) yang langsung dan gamblang, dan bahasa cinta yang serba verbal dan, yah, mendayu-dayu.
Buat yang tak percaya kesimpulan ini, silakan diselidiki berdasarkan tolok ukur sebagai berikut: (1) dialog-dialognya, terutama dalam mengungkapkan perasaan cinta –formulaik atau tidak, serbaverbal atau tidak; (2) solusi-solusi yang disediakan untuk masalah cinta itu formulaik atau tidak, disederhanakan atau tidak (atau dirumit-rumitkan padahal sederhana saja?); (3) masalah cinta yang diangkat itu sendiri, apakah hanya berkutat pada masalah “dapat” atau “tak dapat” saja?
Sekadar iseng lebih jauh, bagaimana jika film-film yang saya sebut acak tadi kita bandingkan dengan film-film cinta berikut (saya sebut secara acak juga): Di Balik Kelambu (Teguh Karya), Kejar Daku Kau Kutangkap (Chaerul Umam), Si Doel Anak Kota (Syumanjaya) , atau Cinta Dalam Sepotong Roti (Garin Nugroho).
2. Lho, film Juno juga bukan film remaja...
Benar, Juno bukan film yang khusus ditujukan untuk remaja. Karya kedua sutradara Jason Reitman (setelah menuai pujian dengan film pertamanya, Thank You For Smoking) ini terasa dewasa, dan memang disukai orang-orang dewasa. Juno adalah salah satu dari sedikit film yang mendapat pujian tinggi secara hampir merata oleh para kritikus film di Amerika, sekaligus benar-benar menyenangkan para penontonnya. Film ini jadi film pertama produksi Fox Searchlight (divisi film indie Studio Fox) yang menembus angka box office $ 100 juta saat beredar, dan jadi film paling laris di antara daftar 5 film terbaik Oscar.
Dari serbapuji para kritikus itu, orang boleh curiga bahwa ini “film festival” –betapa pun ‘aneh’-nya kategori ini sebetulnya. Tapi jelas pula, film ini bercerita tentang tokoh remaja, dan masalah remaja yang mungkin agak nyeleneh (seorang pelajar 16 tahun memutuskan meneruskan kehamilannya, sambil tetap sekolah). Sudut pandang yang didalami adalah sudut pandang remaja Amerika kiwari. Bahasa yang digunakan adalah bahasa remaja Amerika kiwari juga, walau terhitung mengandung kecanggihan juga.
Juno, khususnya, terampil sekali melontarkan celetukan-celetukan yang cerkas (witty) dan ironis. Misalnya, komentarnya terhadap kesulitan pengalaman adopsi pasangan Mark dan Vanessa Loring: “You should've gone to China, you know, 'cause I hear they give away babies like free iPods. You know, they pretty much just put them in those t-shirt guns and shoot them out at sporting events.”
Nah , di sini poin saya: Juno adalah film dengan tokoh remaja, tapi mengandung pikiran dan emosi yang dewasa. Sedang film-film cinta kita belakangan ini, kebanyakan, bertokoh orang dewasa tapi mengandung pikiran dan emosi remaja. Celakanya, “remaja” di sini adalah dari jenis yang kekanak-kanakan dan agak bodoh, bukannya jenis remaja cerdas dan dewasa yang sebetulnya cukup banyak di sekeliling kita.
3. Tapi, Juno punya Ellen Page...
Oke lah, saya tak perlu berpanjang mengomeli film-film buatan dalam negeri yang kata Bimbo harus kita cintai itu. Barangkali Juno memang beruntung: film ini punya Ellen Page.
Sejak Hard Candy (Sutradara: David Slade, 2005), orang melirik aktor watak yang masih belia ini (ia kelahiran 1987). Dalam film thriller kecil tapi paripurna itu, seorang pedofil dijungkir perannya dari predator menjadi korban. Sang gadis 14 tahun, justru adalah predatornya. Dan kita tak bisa melepaskan diri dari Ellen Page, yang memerani gadis cilik sang predator itu dengan sangat meyakinkan. Cara bicara, tatapan mata, tarikan-tarikan kecil di wajah imut-nya –Page berhasil menampilkan rentang kepribadian yang rumit: dari calon korban cerdas tapi lugu dan sedikit menggoda, hingga seorang gadis sadis dan telengas tapi tak pernah membuat kita kehilangan simpati.
Rentang kepribadian yang rumit itu pula yang jadi ciri karakter Juno. Dari cara Page mengolah ekspresi wajahnya, gesturnya, hingga cara mengucapkan dialog-dialognya, ia berhasil menyatakan banyak hal yang tak terucapkan. Rasa tempatan-waktu (timing) Page juga sungguh jitu, sehingga suasana komikal bisa muncul dengan optimal. Misalnya, waktu Page bertengkar dengan ibu tirinya, Bren. Ketika Bren bilang, ia sangat senang anjing tapi tak bisa punya karena Juno alergi pada bulu anjing, lalu Bren dengan kesal bilang ia akan punya anjing, cara Page melontar komentar “WHOA! DREAM BIG!” terasa begitu jitu dan kocak. Atau, saat Juno berteriak memanggil ayahnya karena ketubannya telah pecah.
Juno adalah gadis 16 tahun yang suatu saat memutuskan akan bereksperimen dengan seks. Ia memercayakan tubuhnya pada sahabat lelakinya, Paulie Bleeker. Ndilalah, senggama yang cuma sekali-kalinya itu membuahkan kehamilan. Ini persoalan yang sangat relevan bagi dunia remaja, tapi sekaligus sangat membutuhkan kedewasaan. Ada jalan keluar, memang, bagi seorang remaja yang menginginkan kehamilannya tapi tak menginginkan bayinya: menyerahkan bayinya untuk diadopsi. Juno, ditemani sahabat cewek-nya, Leah, menyikapi seluruh soal ini dengan lagak cuek. Tapi Page berhasil menampilkan yang tersirat: rasa cemas, kesepian, tapi juga ketakjuban diam-diam Juno atas seluruh proses kehamilannya.
Juga, Page berhasil memunculkan kebingungan- kebingungan Juno di balik segala gaya serba yakin dan pasti yang ia tampilkan. Misalnya, kebingungannya atas apa yang ia rasakan terhadap Bleeker. Perhatikan juga Bleeker, diperani Michael Cera, yang pemalu dan agak geek itu. Diamnya, pasifnya, menyimpan lautan emosi yang dalam juga. Sedari awal film, Juno tampak memegang kendali. Namun sungguh menarik ketika film berkembang, kita pun melihat siapa menaklukkan siapa.
Departemen seni peran di film ini bekerja dengan baik. Pasangan Mark dan Vanessa diperani Jason Bateman dan Jennifer Gray. Perhatikan close up wajah Mark saat pertama kali mereka bertemu dengan Juno membicarakan adopsi dan ia ditanya kesiapannya menjadi ayah. Mark bilang, ia siap –tapi wajahnya, sepertinya, menyiratkan hal lain. Dan memang, ketika film berkembang, yang tersirat dari Mark semakin mencuat. Vanessa, yang sejak awal dipotret sebagai “wanita naga”, malah tumbuh jadi pribadi yang membuat kita bersimpati. Adegan Vanessa berpapasan dengan Juno yang sudah hamil besar di mal sungguh mengesankan. Mengutip penilaian Roger Ebert, “Jennifer Grey bersinar di situ.”
4. Juga, faktor Diablo Cody
Juno adalah skenario pertama Diablo Cody. Langsung difilmkan. Langsung dapat Oscar 2008 pula, untuk kategori skenario original. Jason Reitman bilang, ia tak banyak melakukan perubahan (treatment) dalam memfilmkan skenario ini. Konon pula, skenario jadi yang difilmkan tak beda jauh dari draft awalnya.
Diablo Cody kelahiran 1978, dengan nama asli Brook Busey. Artinya, ia tidak muda tidak juga tua. Tapi, jelas ia punya pengalaman hidup yang kaya: ia pernah jadi penari striptease. Jangan bayangkan sebuah cerita romantis, di mana Diablo jadi penari telanjang karena keterpaksaan ekonomis, sebagai seorang penulis pemula yang masih berjuang meraih kesempatan. Memang ada sedikit pertimbangan ekonomis, tapi yang terbanyak adalah pertimbangan “ingin coba-coba”. Dan, kemudian, ia keenakan.
Cody pernah sekolah di sebuah sekolah Katolik Roman di Lisle, Illinois. Ia lulus dari kuliah di bidang studi media, di Universitas Iowa (ini universitas dan kota yang sangat memerhatikan bidang penulisan –selama beberapa tahun pada 1970-an hingga 1980-an, banyak penulis Indonesia yang mendapat beasiswa penulisan selama setahun di Iowa; di antaranya, Arswendo Atmowiloto). Selama mahasiswa, Cody sempat jadi DJ di sebuah radio, dan setelah lulus bekerja sebagai sekretaris di sebuah firma hukum. Kemudian, ia bekerja sebagai proof-reader untuk iklan-iklan di sebuah radio.
Suatu malam, Cody iseng mendaftar jadi penari telanjang amatir di sebuah klub malam. Ia menikmati pengalaman itu, dan lantas keluar dari pekerjaan tetapnya untuk jadi penari telanjang profesional. Ia sempat beralih ke bidang telepon seks, tapi kemudian balik jadi penari telanjang lagi. Selama jadi penari telanjang, Cody juga jadi jurnalis di sebuah koran alternatif mingguan, City Weeks. Berhenti dari City Weeks, ia lantas jadi penulis untuk majalah perempuan, Jane. Pada usia 24, ia menulis buku memoar pengalamannya sebagai stripper, berjudul Candy Girl: A Year in The Life of an Unlikely Stripper. Ia juga kemudian terkenal dengan blognya, Pussy Ranch –sebuah nama yang ‘rawan’, dan bisa jadi diblokir oleh Menkofindo kita.
Seperti Juno, Cody sangat cerkas dalam memelintir kata. Ia menulis skenario Juno dalam sebulan. Dalam Juno, Cody menghidangkan pada kita sebuah cerita yang bukan hanya punya cerita menarik, menggelitik, tapi juga unggul dalam hal dialog, karakterisasi, dan kekisahan. Salah satu kualitas asyik dari Juno adalah bagaimana ia menerapkan teknik “kupas bawang”, yakni mengupas lapis demi lapis persoalan, perasaan, serta gagasan. Unfolding adalah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana cerita tumbuh dalam film ini.
Ambil contoh bagaimana karakter Mark Loring tumbuh. Dari seorang yuppies yang agak ja-im, yang menyimpan keberatan samar atas prospeknya jadi ayah tapi agaknya ia harus menuruti istrinya yang serba mengatur; lalu ternyata ia seorang yang ‘keren’ bagi anak muda macam Juno, dan menampakkan minat yang mungkin tak sehat pada Juno (walau semua hanya ada di udara, tersirat belaka); hingga saat ia menghempas keluarganya ke dalam sebuah persoalan mengejutkan.
Cody juga mengembangkan karakter-karakter unik dalam Juno. Segera saja di awal kita sudah menangkap keunikan sifat Juno, ketika Juno secara sambil lalu menceritakan ibu kandungnya yang meninggalkan ayahnya, Juno, sehingga mereka harus membangun keluarga baru ketika sang ayah kawin lagi dengan Bren dan melahirkan adik yang kini balita, Liberty Bell. Ibu Juno selalu mengirim Juno kaktus setiap hari Valentine, dan Juno melamun, “Oh, and she inexplicably mails me a cactus every Valentine's Day. And I'm like, ‘Thanks a heap coyote ugly. This cactus-gram stings even worse than your abandonment.’”
Bagaimana ayah Juno menamai anak-anaknya pun menggambarkan kenyentrikan sang ayah. Adik Juno dinamai Liberty Bell? Dan nama Juno diambil dari nama istri Zeus? (Bagaimana Juno menceritakan asal-usul nama ini, dan bagaimana ia berbelok ke Diana Ross, lagi-lagi menunjukkan ketajaman dan humor cerkas Cody.) Dari kenyentrikan ini, kita merasa masuk akal dengan pilihannya atas Bren sebagai istri kedua yang menyimpan kenyentrikan juga (khususnya, waktu ia menggambarkan para dokter di rumah sakit). Dan, kemudian kita pun mungkin takjub tapi tak heran ketika melihat reaksi keduanya saat diberitahu Juno bahwa ia hamil dan akan menyerahkan anaknya untuk adopsi. Kalau dipikir-pikir, pantas saja mereka bereaksi seperti itu.
Dialog-dialog dan terutama semua celetukan dalam film ini, pilihan-pilihan etis para tokoh cerita, tingkah laku para tokoh ini, juga benda-benda yang mengisi hidup para tokoh ini (iklan tawaran orang tua adopsi di koran, minuman, koleksi musik dan DVD, permen, dan sebagainya) membentuk sebuah dunia anak muda Amerika zaman kiwari yang hidup.
Bagaimana Leah, yang tampak agak dungu dibanding Juno, mengucapkan “Phuket, Thailand” seperti mengucap “Fuck!”. Bagaimana ia juga mengucap “Honest to blog?” untuk menyatakan, “sungguhan, nih?” Bagaimana Juno dengan sok tahu mengajari Mark, tentang hari terbaik musik rock adalah dalam konser musik Sex Pistol, pada 1977. Mark dengan geli berkomentar, “tapi kamu kan belum lahir, saat itu?” Bagaimana gambaran klinik aborsi yang depresif secara komikal (penerima tamunya seorang gadis berdandan Punk, asyik mencat kuku, dan menawari Juno kondom rasa buah). Dan yang protes di depan klinik adalah teman sekelas Juno, Su Chin yang pemalu, dan yakin betul bayi dalam kandungan beberapa minggu Juno sudah punya kuku.
Semua itu membentuk sebuah dunia Juno yang utuh dan hidup. Dunia yang, seperti kata salah sebuah artikel di Guardian, menganggap aborsi secara taken for granted. (Jadi, pilihan Juno untuk meneruskan kehamilannya bukanlah sebuah produk budaya antiaborsi yang konservatif. ) Dunia remaja yang persoalan cintanya lebih bernuansa dari apa yang kita saksikan di film-film cinta kita. Dunia yang jauh lebih fasih dari film-film cinta kita dalam mengucapkan ketakpahaman mereka akan cinta, dan akibatnya juga menjadi jauh lebih fasih saat cinta akhirnya diucapkan. Fasih secara kata, tapi lebih-lebih lagi fasih secara visual.
Dalam kefasihan itulah, Juno mengangkat persoalan cinta yang bukan sekadar “apakah dia suka pada saya?” atau “apakah kita akan bersatu (baca: akan pacaran, atau akan kawin akhirnya)”. Persoalan cinta yang kemudian terungkit dalam film ini adalah: bagaimanakah orang bisa bersama selamanya, atau paling tidak, beberapa tahun sajalah?
Ini adalah pertanyaan Juno kepada ayahnya. Saya tak akan memberitahu Anda jawabannya, silakan tonton sendiri. Tapi, saya berani bilang bahwa pertanyaan dan jawabannya menempatkan Juno sebagai sebuah film generasional, film yang menjadi salah satu tanda anak zaman. Persis seperti, misalnya, The Breakfast Club (untuk remaja Amerika 1980-an), Reality Bites (untuk kawula muda Amerika 1990-an), Donie Darko (untuk kawula muda 2000-an, sama seperti Juno ini), Gita Cinta Dari SMA (untuk remaja Indonesia 1980-an), atau Ada Apa Dengan Cinta (untuk remaja Indonesia 2000-an).
5. Jangan lupakan lagu-lagunya
Salah satu tanda penting dari sifat Juno sebagai “film generasinya”, adalah lagu-lagunya. Juno dipenuhi lagu-lagu balada karya musisi muda yang berciri indie. Sekujur film dipenuhi lagu-lagu dari Kimya Dawson. Lagu temanya sendiri, balada imut berjudul Anyone Else But You, adalah dari The Moldy Peaches. Dalam daftar soundtrack, kita membaca judul-judul lagu dari Belle & Sebastian, David Bowie (All The Young Dudes, versi Mott The Hoople). Yang mengejutkan, lagu pembuka film adalah A Well Respected Man dari The Kinks.
Dari lagu pembuka itu, kita segera merasa bahwa ini film indie tenan. Yang menarik, ketika Juno (wakil dari generasi 2000-an) beradu pendapat dengan Mark Loring (wakil generasi 1990-an) tentang pilihan musik dan film mereka. Mark mengenalkan pada Juno cover lagu Superstar dari The Carpenters (grup 1970-an) oleh Sonic Youth. Juno menganggapnya asyik, tapi dalam sebuah letupan marah kemudian, Juno ngenyek album selanjutnya dari Sonic Youth sebagai “it’s all noise!”. Dan inilah sebuah tanda kuat generasi Juno.
Generasi Juno (walau, tentu tak bisa terlalu digeneralisir) tampak cenderung pada kesederhanaan, lebih dari generasi 1990-an. Generasi 1990-an, kita tahu, semangat mereka terutama dibentuk oleh musik rock dari Nirvana, aliran grunge dan garage music dari kota Seattle, Radiohead, R.E.M., dan, yah, Oasis. Tentu, pada saat itu marak pula rave culture dan dance music; musik hip hop gaya blink blink merajai billboard; dan boys band serta Spice Girl pun merajai pasaran musik mainstream. Tapi, semangat pemberontakan kaum muda, yang lazim dianggap sebagai “semangat (anak) zaman”, diwakili oleh Kurt Cobain dan sejenisnya.
Cobain adalah seorang penyair. Kemampuan teknisnya sederhana, tapi ia berhasil menjadi mencipta berisik yang efektif dengan kesederhanaan tekniknya. Tampilannya adalah antitesa dari grup-grup rock serbakostum dan teatrikal dari 1970-an hingga 1980-an. Ia dan kawan-kawannya di Nirvana mau pun grup rock sejenis tampil apa adanya, casual, malah agak sedikit “manis”. Noise masih jadi obsesi. Tapi, tidak bagi kaum youth culture bergaya urban angkatan 2000-an.
Mereka kembali pada balada akustik. Mereka mencipta sejarah tonggak-tonggak rock mereka sendiri –dengan mengambil semangat spontanitas dari musisi Punk sejak Ramones dan Sex Pistols. Mereka masih melanjutkan penerimaan terhadap kesederhanaan melodi, struktur lagu, serta keterampilan musikal seperti pada generasi 1990-an. Tapi mereka mampu mendedahkan kesantaian, yang berkawin dengan kemelimpahan informasi yang mereka punya (kemelimpahan informasi yang memungkinkan Juno bisa sok tahu tentang Punk pada 1977), menjadi sebuah bahasa syair yang khas. Sifat lebih santai, lebih casual generasi ini, membuahkan pemberontakan yang tak bercorak eksistensialis atau “serius” macam Nirvana; corak pemborantakan santai ini lebih condong pada kebermain-mainan.
Simak saja beberapa bait lirik lagu tema Juno. (Adalah Ellen Page yang mengusulkan agar karakter Juno digambarkan menggemari musik-musik dari Kimya Dawson dan The Moldy Peaches).
You're a part time lover and a full time friend
The monkey on your back is the latest trend
Here is the church and here is the steeple
We sure are cute for two ugly people
I will find my niche in your car
With my MP3, DVD, rumble pack guitar
Seolah bisa disimpulkan (walau, tentu, perlu penelitian lebih jauh) bahwa generasi Juno lebih praktis ketimbang nihilistik seperti ciri angkatan 1990-an. Juno memilih melanjutkan kehamilannya, karena tersedia jalan untuk sang bayi berupa mekanisme adopsi yang semakin kerap dan biasa di Amerika; tapi, ia memilih tak mau melihat bayinya, karena sang bayi, praktis, adalah ‘anak orang lain’.
6. Dan moral cerita ini, saat ini, adalah...
“Suatu hari nanti,” kata sang ayah membelai lembut kepala Juno yang kelelahan sehabis melahirkan, “kau akan kembali ke sini, tapi on your terms.”
Sebuah moralitas yang rusak? Tidak. Ini adalah sebuah moralitas lembut, yang bangkit dari puing-puing kehancuran ikatan sosial dalam masyarakat kiwari. Bisakah film remaja kita bicara hal seperti ini? ***