Kamis, 30 Oktober 2008

Impian Emang Untuk Dikejar

Kung Fu Panda : Impian Emang Untuk Dikejar
"Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That is why it is called the present."
(Master Ooguay)
Sinopsis
Po (Jack Black) adalah Panda penjual mie yang selalu bermimpi menjadi jago kung fu. Sayang ia takut mewujudkan mimpinya karena tak mau mengecewakan ayahnya. Sang ayah sangat berharap Po mewarisi usaha mie keluarga. Bermimpi hal yang sama setiap hari, keinginan Po untuk jadi jago kung fu tak terbendung ketika sebuah perguruan kung fu ternama mencari pendekar naga. Ia pun pergi ke tempat audisi, hingga sebuah kebetulan membawanya menjadi murid perguruan tersebut dan dianggap sebagai si pendekar naga.
Kenapa harus nonton film ini ?
Setelah tertawa lebar-lebar dan sepenuh hati, ternyata badan terasa segar, seperti ada aliran hangat di sekujur badan. Konon, tertawa selama 5 sampai 10 menit dapat merangsang kelenjar endorfin (penghilang rasa sakit dalam tubuh). Endorfin, serotonin dan melatonin dapat menimbulkan perasaan senang dan tenang. Di negara maju, katanya, ada semacam klinik tertawa untuk orang-orang yang mempunyai tendensi depresi dan stress.Pada hakekatnya, merengut memang lebih mudah ketimbang tertawa. Menurut The Power of Laugh, tertawa memerlukan kerja 8 syaraf sedangkan merengut hanya 3 syaraf (!). Tentu saja membuat orang tertawa pastilah lebih susah ketimbang membuat orang merengut. Saya cukup bilang 'gila lu' untuk membuat orang merengut atau bahkan marah dan melempar asbak.
Film ini dijamin dengan sukses akan membuat Anda tertawa terbahak-bahak, lihatlah adegan di awal film ketika si Po bangun tidur dan tidak bias menegakkan badannya karena terlalu berat!
Atau adegan di akhir film,ketika samar-samar Si Po muncul dari balik debu bekas pertarungannya dengan Tai Lung (Ian McShane),Anda pasti mengira dia memakai jubah dan topi lebar khas pendekar kungfu jagoan,tapi ternyata….

Kata-Kata Mutiaranya itu loh …
Po: "There is no charge for awesomeness - or attractiveness. "
Ooguay: "Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That is why it is called the present."
Ooguay: "One often meets his destiny on the road he takes to avoid it. "

Ooguay: "There are no accidents."

Selasa, 28 Oktober 2008

Anda Harus Nonton MAY !

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya....
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu....
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri
(Taufiq Ismail : Kerendahan Hati)
Suatu hari Pak Johand Dimalaouw yang senior saya di kampus pernah berkata,"kalau kamu pingin kaya mendadak kamu bias ke bandara ketika terjadi kerusuhan, disana kamu bias mendapatkan mobil dengan harga murah".Kisah yang mirip ditampilkan di film May ini,Anda mungkin akan jadi berempati dengan para korban kerusuhan Mei 1998 yang kebanyakan beretnis cina itu.Dalam film itu ditampilkan betapa para saudara cina ini rela menukarkan apa saja untuk sekedar mendapatkan tiket ke luar negeri,ada yang menukarkan mobil,perhiasan bahkan sertifikat rumah!
Wow !!!! betul kata Mas Hikmat,film MAY memang bagus,segar sekali,sungguh sebuah alternative baru bagi film Indonesia sekarang.Film besutan Viva Westi ini sungguh berhasil menyampaikan pesan dengan kadar yang pas,tidak berlebihan dan masuk akal. Viva Westi yang anak Papua ini sungguh mampu memimpin rekan-rekannya untuk menghasilkan film dengan gambar yang memanjakan mata penonton dengan kerja kamera yang kaya sudut pandang,lihat ketika kamera mengambil angle pintu bawah ketika Antares (Yama Carlos ) yang ragu mau masuk ke rumah May (Jenny Chang ) atau tidak,lalu diikuti shoot May membuka jendela kamarnya di lantai 2 setelah Antares meninggalkan rumah kos May.Beberapa kali juga disuguhkan shoot dari bawah ke atas untuk menunjukkan rumah Pak Gandang (Lukman Sardi) yang pengusaha laundry itu sedang dijual dengan harga murah dengan nomor kontak telepon yang unik : 0856 56565656. Atau adegan shoot yang diambil dari atas ketika May dan Antares sedang berciuman di pinggir pantai kan jarang diambil oleh film lain. Pokoknya puas deh …!
Soal pemain yang mengisi juga tampil prima, pemeran utamanya juga masih segar,pemeran utama wanitanya artis pendatang baru Jenny Chang, sedangkan actor utamanya Yama Carlos yang telah membintangi Belahan Jiwa (2005),Angker Batu (2007), Merah Itu Cinta (2007),In The Name Of Love (2008).Akting mereka menjadi sangat prima berkat dukungan pemeran pendukung yang jempolan macam Ria Irawan,Lukman Sardi,Tuti Kirana,Niniek L Karim,Tio Pakusadewo dan Jajang C Noer. Khusus untuk Jenny Chang aktingnya tergolong luar biasa untuk hitungan seorang yang baru pertama main film,info dari teman saya ternyata benar,ada banyak teman beretnis cina yang sedang mengadu peruntungan menjadi bintang film sekarang.Seperti biasa Ria Irawan yang memainkan peran Yuni, istri Pak Gandang si pengusaha laundry, juga mencuri perhatian dengan logat jawanya yang pas.
Mau lihat dari sisi scenario,wah sangat jempolan juga,Dirmawan Hatta si pembuat telah bekerja dengan sangat baik.Banyak dialog cerdas yang ditampilkan, lihatlah dialog antara Antares yang sutradara film dokumenter itu saat akan mengundurkan diri dari perusahaan bosnya yang diperankan Tio Pakusadewo," Kamu (Antares) mau jadi apa setelah ini? mau jadi sutradara festival yang ga punya duit karena filmnya hanya laku di festival-festival ? atau mau jadi sutradara sinetron yang setiap hari harus streaming dan tuanya kena lever?".Atau juga sindiran Pak Ustadz yang hadir di acara syukuran umroh Pak Gandang,"Reformasi itu artinya …dulu pekerjaan tukang cuci itu kan rendahan sekarang jadi meningkat statusnya dan berubah nama menjadi laundry". Atau ucapan Pak Gandang yang akhirnya membatalkan rencana umrohnya setelah bertemu Ku Bing di Malaysia,"Kita ini udah pernah umroh,Bu,ngapain kita umroh lagi kalo hanya ingin dipandang oleh tetangga".
Film yang digarap dengan tempo singkat ini bercerita tentang percintaan Antares yang batak dan May yang cina. Peristiwa Mei 1998 memisahkan mereka hingga waktu yang lama. Dalam peristiwa itu diceritakan bahwa May diculik sekelompok orang dan diperkosa. Sedangkan Antares, yang bekerja sebagai pembuat film dokumenter, tengah sibuk membidik momen tersebut.May juga harus berpisah dengan ibunya karena sang ibu telah pergi ke Malaysia dengan menukarkan sertifikat rumahnya untuk mendapatkan sebuah tiket pesawat. May pun menyusul sang bunda ke Malaysia. Sepuluh tahun berselang, Antares berhasil menemukan May di Malaysia.
Banyak pesan kemanusiaan dalam film ini,Anda tentu akan trenyuh melihat wajah kusam dan sayu dari Ku Bing (Tuti Kirana),ibunda May,wajahnya menyiratkan beban trauma yang berat pasca kerusuhan Mei yang menyebabkan dia kehilangan harta benda dan anaknya.Kita juga akan merenung ketika Pak Gandang yang sebelum kerusuhan Mei hanyalah seorang pekerja kecil di sebuah hotel mendadak menjadi orang kaya karena mendapatkan sertifikat rumah Ku Bing sebagai imbalan dari tiket pesawat yang diberikan Gandang.Ternyata di satu sisi banyak orang kehilangan harta benda sedangkan di sisi lain banyak juga orang yang mendapat durian runtuh karena sebuah kerusuhan,bahkan di kondisi seperti itu ada juga yang menjadi calo tiket dengan harga gila-gilaan seperti teman Gandang,orang- orang yang bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.Anda juga akan setuju dengan keputusan Pak Gandang 10 tahun setelah kerusuhan mei 98 yang mengembalikan rumah Ku Bing sehingga Ku Bing bias kembali ke Indonesia.
Saya dulu sering bertanya dalam hati ketika mendengar testimoni seorang yang sukses biasanya,untuk berterima kasih pada istri dan anak-anaknya, saya waktu itu belum mengerti, "kenapa harus berterima kasih? bukannya dia sukses karena usahanya sendiri?" Saya kepikiran hal ini ketika melihat adegan Antares yang ditelepon pacarnya,May, ketika dia sedang bekerja mengambil gambar,sedangkan May berada di tengah-tengah kerusuhan yang akhirnya membuat May diperkosa. Antares akhirnya memilih membiarkan telepon kekasihnya itu dan melanjutkan pekerjaannya, sebuah keputusan yang disesalinya selama 10 tahun.Pesan yang indah dimana kita harus menyeimbangkan kepentingan karir dan keluarga.
Terkait dengan kerusuhan Monas,jadi apakah Anda ingin kepedihan mei 98 terulang kembali?
Bersatulah bangsaku

gagal kuliah tapi sukses berwirausaha

Salam,
Apakah Anda tahu, sebagian besar orang ter-kaya di dunia adalah mereka yang gagal dalam pendidikan formal? Anda tahu pemilik Microsoft? Anda tahu pendiri komputer Dell? Dan ternyata 9 dari 10 orang terkaya di dunia, adalah mereka yang drop out dari bangku kuliah! Bill Gates memutuskan meninggalkan bangku kuliah, untuk mengembangkan Microsoft. Michael Dell, tidak lulus kuliah ketika membangun kerajaan bisnis komputernya. Keduanya kini menjadi orang-orang terkaya di dunia.
Contoh itu mungkin masih belum seberapa. Thomas Alfa Edison, penemu bola lampu, Albert Einstein si jenius, dan sejumlah tokoh penemu lainnya … Ternyata mereka adalah manusia yang tidak selesai mengenyam pendidikan formal dasar dan menengah. Mereka sukses setelah memilih jalan hidupnya sendiri.

Di Indonesia, mungkin Anda mengenal Purdie E. Chandra pemilik Primagama. Atau para konglo-merat seperti Sudono Salim, Bob Hasan dll. Atau motivator yang mengklaim diri sebagai yang nomor satu di Indonesia, Andrie Wongso. Anda tahu level pendidikan mereka? Purdie drop out dari UGM. Dia menjadi sarjana dan master dari kampus yang didirikannya sendiri. Salim, Bob, Andrie Wongso, hanya lulusan SR/SD.

Lalu kenapa banyak orang yang tidak sukses dalam pendidikan formal tersebut, justru sukses dalam hidupnya. Jawabannya hanya satu … mereka tahu betul punya KEHENDAK BEBAS. Bebas untuk memilih jalan hidup. Sadar bahwa Tuhan memberikan kebebasan kepada makhluk-nya untuk memilih jalan hidup yang sangat beragam!
Mau seperti mereka? Pasti mau. Mereka yang tidak lulus sekolah saja bisa sukses, seharusnya Anda para sarjana dan calon sarjana, tentu juga bisa sukses. Kuncinya sekali lagi hanya satu, SADARILAH BAHWA ANDA PUNYA BANYAK PILIHAN. Dan Anda bebas untuk memilihnya.

Salam sukses,

Mengapa Kita Tak Bisa Bikin Film Remaja Seperti Ini?

Mengapa Kita Tak Bisa Bikin Film Remaja Seperti Ini?
Lagu cinta melulu
Kita memang Melayu
...Suka mendayu-dayu
- Lagu Cinta Melulu, Efek Rumah Kaca
Demikianlah juga keadaannya dalam dunia film kita saat ini, bukan? aLagu yang sekaligus sebuah esai lugas tentang industri musik pop Indonesia dari grup indie Efek Rumah Kaca itu mengena juga pada industri film kita: tema mendayu-dayu yang itu-itu juga, khayalan cinta (atau, belakangan, seks) yang melambung-lambung selayaknya khayalan kekanakan ABG, dan pertimbangan pasar yang memelihara selera banal itu.
Mengenai apakah itu karena kita “Melayu” tentu perlu ada penelitian lebih jauh. Mungkin memang ada karakter budaya yang membentuk mentalitas Melayu pada masyarakat kita, mungkin juga tidak ada. Namun, stereotipe mendayu-dayu itu jelas tampak jika kita menderetkan judul-judul film cinta yang diproduksi sejak keberhasilan Ada Apa Dengan Cinta pada 2001 hingga keberhasilan Ayat-ayat Cinta tahun ini. Bahkan, film-film yang seolah penuh pemberontakan macam Cinta, Realita & Rock ‘n Roll dan Radit & Jani (keduanya karya Upi) pun jebul-nya melankolis juga.
1. Lanturan tentang film remaja kita
Menyebut film-film cinta kiwari buatan dalam negeri sebagai “film remaja” sebetulnya problematis juga. Setelah keberhasilan Ada Apa Dengan Cinta yang laris manis dan jadi film ikonik/generasional hingga saat ini, film-film cinta (drama cinta, kek; komedi cinta, kek) kita tampak benar diarahkan pada penonton remaja. Kaum ABG dan remaja memang konsumen mal –tempat bioskop-bioskop 21 umumnya– terbesar. Dan memang, bersama film-film horor kiwari kita sejak Jelangkung, film-film cinta mutakhir dikemas sebagai teen flick atau tontonan remaja.
Tapi, walau banyak yang dikemas sebagai film remaja, nyatanya sedikit saja yang murni film remaja –dalam arti, film yang menokohkan para remaja (kelompok usia 12-17 tahun) dan mengungkapkan masalah yang menghinggapi para remaja. Dari segi penokohan saja, banyak film-film cinta kita yang tak lagi menokohkan remaja. Kebanyakan bertokoh utama mahasiswa, bahkan banyak juga kaum profesional muda.
Misalnya, Radit & Jani, bertokohkan suami istri (keduanya pengangguran) . Mereka memang pasangan muda, dan pakaian serta gaya bicara mereka sangat “anak muda”, yang saya perhatikan memang cukup nyambung dengan para penonton ABG di Studio 21 Blok M. (Waktu saya ke WC bioskop, usai film, sekelompok ABG asyik meniru-niru gaya Vino Bastian sebagai Radit saat fly.) Tapi persoalan-persoalan mereka (cari uang buat bayar kontrakan, menghadapi mertua yang membenci menantu, cari uang buat ke dokter untuk periksa kehamilan) bukanlah persoalan khas remaja.
Ambil saja lagi contoh acak lain, Virgin. Tampang dan rasa film ini adalah film remaja, tapi tokoh-tokohnya jelas bukan. Begitu juga Love is Cinta, Cintapuccino, dan Heart. Film-film ini digemari para ABG, walau tokoh-tokohnya bukanlah remaja sekolahan. Tapi, satu hal tampak jelas: tokoh-tokoh dalam film-film “bukan remaja” itu berpolah dan berpikir selayak para remaja setengah matang dan belum dewasa. Masalah paling penting buat mereka adalah cinta romantis, pencarian afeksi (seringkali fisik) yang langsung dan gamblang, dan bahasa cinta yang serba verbal dan, yah, mendayu-dayu.
Buat yang tak percaya kesimpulan ini, silakan diselidiki berdasarkan tolok ukur sebagai berikut: (1) dialog-dialognya, terutama dalam mengungkapkan perasaan cinta –formulaik atau tidak, serbaverbal atau tidak; (2) solusi-solusi yang disediakan untuk masalah cinta itu formulaik atau tidak, disederhanakan atau tidak (atau dirumit-rumitkan padahal sederhana saja?); (3) masalah cinta yang diangkat itu sendiri, apakah hanya berkutat pada masalah “dapat” atau “tak dapat” saja?
Sekadar iseng lebih jauh, bagaimana jika film-film yang saya sebut acak tadi kita bandingkan dengan film-film cinta berikut (saya sebut secara acak juga): Di Balik Kelambu (Teguh Karya), Kejar Daku Kau Kutangkap (Chaerul Umam), Si Doel Anak Kota (Syumanjaya) , atau Cinta Dalam Sepotong Roti (Garin Nugroho).
2. Lho, film Juno juga bukan film remaja...
Benar, Juno bukan film yang khusus ditujukan untuk remaja. Karya kedua sutradara Jason Reitman (setelah menuai pujian dengan film pertamanya, Thank You For Smoking) ini terasa dewasa, dan memang disukai orang-orang dewasa. Juno adalah salah satu dari sedikit film yang mendapat pujian tinggi secara hampir merata oleh para kritikus film di Amerika, sekaligus benar-benar menyenangkan para penontonnya. Film ini jadi film pertama produksi Fox Searchlight (divisi film indie Studio Fox) yang menembus angka box office $ 100 juta saat beredar, dan jadi film paling laris di antara daftar 5 film terbaik Oscar.
Dari serbapuji para kritikus itu, orang boleh curiga bahwa ini “film festival” –betapa pun ‘aneh’-nya kategori ini sebetulnya. Tapi jelas pula, film ini bercerita tentang tokoh remaja, dan masalah remaja yang mungkin agak nyeleneh (seorang pelajar 16 tahun memutuskan meneruskan kehamilannya, sambil tetap sekolah). Sudut pandang yang didalami adalah sudut pandang remaja Amerika kiwari. Bahasa yang digunakan adalah bahasa remaja Amerika kiwari juga, walau terhitung mengandung kecanggihan juga.
Juno, khususnya, terampil sekali melontarkan celetukan-celetukan yang cerkas (witty) dan ironis. Misalnya, komentarnya terhadap kesulitan pengalaman adopsi pasangan Mark dan Vanessa Loring: “You should've gone to China, you know, 'cause I hear they give away babies like free iPods. You know, they pretty much just put them in those t-shirt guns and shoot them out at sporting events.”
Nah , di sini poin saya: Juno adalah film dengan tokoh remaja, tapi mengandung pikiran dan emosi yang dewasa. Sedang film-film cinta kita belakangan ini, kebanyakan, bertokoh orang dewasa tapi mengandung pikiran dan emosi remaja. Celakanya, “remaja” di sini adalah dari jenis yang kekanak-kanakan dan agak bodoh, bukannya jenis remaja cerdas dan dewasa yang sebetulnya cukup banyak di sekeliling kita.
3. Tapi, Juno punya Ellen Page...
Oke lah, saya tak perlu berpanjang mengomeli film-film buatan dalam negeri yang kata Bimbo harus kita cintai itu. Barangkali Juno memang beruntung: film ini punya Ellen Page.
Sejak Hard Candy (Sutradara: David Slade, 2005), orang melirik aktor watak yang masih belia ini (ia kelahiran 1987). Dalam film thriller kecil tapi paripurna itu, seorang pedofil dijungkir perannya dari predator menjadi korban. Sang gadis 14 tahun, justru adalah predatornya. Dan kita tak bisa melepaskan diri dari Ellen Page, yang memerani gadis cilik sang predator itu dengan sangat meyakinkan. Cara bicara, tatapan mata, tarikan-tarikan kecil di wajah imut-nya –Page berhasil menampilkan rentang kepribadian yang rumit: dari calon korban cerdas tapi lugu dan sedikit menggoda, hingga seorang gadis sadis dan telengas tapi tak pernah membuat kita kehilangan simpati.
Rentang kepribadian yang rumit itu pula yang jadi ciri karakter Juno. Dari cara Page mengolah ekspresi wajahnya, gesturnya, hingga cara mengucapkan dialog-dialognya, ia berhasil menyatakan banyak hal yang tak terucapkan. Rasa tempatan-waktu (timing) Page juga sungguh jitu, sehingga suasana komikal bisa muncul dengan optimal. Misalnya, waktu Page bertengkar dengan ibu tirinya, Bren. Ketika Bren bilang, ia sangat senang anjing tapi tak bisa punya karena Juno alergi pada bulu anjing, lalu Bren dengan kesal bilang ia akan punya anjing, cara Page melontar komentar “WHOA! DREAM BIG!” terasa begitu jitu dan kocak. Atau, saat Juno berteriak memanggil ayahnya karena ketubannya telah pecah.
Juno adalah gadis 16 tahun yang suatu saat memutuskan akan bereksperimen dengan seks. Ia memercayakan tubuhnya pada sahabat lelakinya, Paulie Bleeker. Ndilalah, senggama yang cuma sekali-kalinya itu membuahkan kehamilan. Ini persoalan yang sangat relevan bagi dunia remaja, tapi sekaligus sangat membutuhkan kedewasaan. Ada jalan keluar, memang, bagi seorang remaja yang menginginkan kehamilannya tapi tak menginginkan bayinya: menyerahkan bayinya untuk diadopsi. Juno, ditemani sahabat cewek-nya, Leah, menyikapi seluruh soal ini dengan lagak cuek. Tapi Page berhasil menampilkan yang tersirat: rasa cemas, kesepian, tapi juga ketakjuban diam-diam Juno atas seluruh proses kehamilannya.
Juga, Page berhasil memunculkan kebingungan- kebingungan Juno di balik segala gaya serba yakin dan pasti yang ia tampilkan. Misalnya, kebingungannya atas apa yang ia rasakan terhadap Bleeker. Perhatikan juga Bleeker, diperani Michael Cera, yang pemalu dan agak geek itu. Diamnya, pasifnya, menyimpan lautan emosi yang dalam juga. Sedari awal film, Juno tampak memegang kendali. Namun sungguh menarik ketika film berkembang, kita pun melihat siapa menaklukkan siapa.
Departemen seni peran di film ini bekerja dengan baik. Pasangan Mark dan Vanessa diperani Jason Bateman dan Jennifer Gray. Perhatikan close up wajah Mark saat pertama kali mereka bertemu dengan Juno membicarakan adopsi dan ia ditanya kesiapannya menjadi ayah. Mark bilang, ia siap –tapi wajahnya, sepertinya, menyiratkan hal lain. Dan memang, ketika film berkembang, yang tersirat dari Mark semakin mencuat. Vanessa, yang sejak awal dipotret sebagai “wanita naga”, malah tumbuh jadi pribadi yang membuat kita bersimpati. Adegan Vanessa berpapasan dengan Juno yang sudah hamil besar di mal sungguh mengesankan. Mengutip penilaian Roger Ebert, “Jennifer Grey bersinar di situ.”
4. Juga, faktor Diablo Cody
Juno adalah skenario pertama Diablo Cody. Langsung difilmkan. Langsung dapat Oscar 2008 pula, untuk kategori skenario original. Jason Reitman bilang, ia tak banyak melakukan perubahan (treatment) dalam memfilmkan skenario ini. Konon pula, skenario jadi yang difilmkan tak beda jauh dari draft awalnya.
Diablo Cody kelahiran 1978, dengan nama asli Brook Busey. Artinya, ia tidak muda tidak juga tua. Tapi, jelas ia punya pengalaman hidup yang kaya: ia pernah jadi penari striptease. Jangan bayangkan sebuah cerita romantis, di mana Diablo jadi penari telanjang karena keterpaksaan ekonomis, sebagai seorang penulis pemula yang masih berjuang meraih kesempatan. Memang ada sedikit pertimbangan ekonomis, tapi yang terbanyak adalah pertimbangan “ingin coba-coba”. Dan, kemudian, ia keenakan.
Cody pernah sekolah di sebuah sekolah Katolik Roman di Lisle, Illinois. Ia lulus dari kuliah di bidang studi media, di Universitas Iowa (ini universitas dan kota yang sangat memerhatikan bidang penulisan –selama beberapa tahun pada 1970-an hingga 1980-an, banyak penulis Indonesia yang mendapat beasiswa penulisan selama setahun di Iowa; di antaranya, Arswendo Atmowiloto). Selama mahasiswa, Cody sempat jadi DJ di sebuah radio, dan setelah lulus bekerja sebagai sekretaris di sebuah firma hukum. Kemudian, ia bekerja sebagai proof-reader untuk iklan-iklan di sebuah radio.
Suatu malam, Cody iseng mendaftar jadi penari telanjang amatir di sebuah klub malam. Ia menikmati pengalaman itu, dan lantas keluar dari pekerjaan tetapnya untuk jadi penari telanjang profesional. Ia sempat beralih ke bidang telepon seks, tapi kemudian balik jadi penari telanjang lagi. Selama jadi penari telanjang, Cody juga jadi jurnalis di sebuah koran alternatif mingguan, City Weeks. Berhenti dari City Weeks, ia lantas jadi penulis untuk majalah perempuan, Jane. Pada usia 24, ia menulis buku memoar pengalamannya sebagai stripper, berjudul Candy Girl: A Year in The Life of an Unlikely Stripper. Ia juga kemudian terkenal dengan blognya, Pussy Ranch –sebuah nama yang ‘rawan’, dan bisa jadi diblokir oleh Menkofindo kita.
Seperti Juno, Cody sangat cerkas dalam memelintir kata. Ia menulis skenario Juno dalam sebulan. Dalam Juno, Cody menghidangkan pada kita sebuah cerita yang bukan hanya punya cerita menarik, menggelitik, tapi juga unggul dalam hal dialog, karakterisasi, dan kekisahan. Salah satu kualitas asyik dari Juno adalah bagaimana ia menerapkan teknik “kupas bawang”, yakni mengupas lapis demi lapis persoalan, perasaan, serta gagasan. Unfolding adalah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana cerita tumbuh dalam film ini.
Ambil contoh bagaimana karakter Mark Loring tumbuh. Dari seorang yuppies yang agak ja-im, yang menyimpan keberatan samar atas prospeknya jadi ayah tapi agaknya ia harus menuruti istrinya yang serba mengatur; lalu ternyata ia seorang yang ‘keren’ bagi anak muda macam Juno, dan menampakkan minat yang mungkin tak sehat pada Juno (walau semua hanya ada di udara, tersirat belaka); hingga saat ia menghempas keluarganya ke dalam sebuah persoalan mengejutkan.
Cody juga mengembangkan karakter-karakter unik dalam Juno. Segera saja di awal kita sudah menangkap keunikan sifat Juno, ketika Juno secara sambil lalu menceritakan ibu kandungnya yang meninggalkan ayahnya, Juno, sehingga mereka harus membangun keluarga baru ketika sang ayah kawin lagi dengan Bren dan melahirkan adik yang kini balita, Liberty Bell. Ibu Juno selalu mengirim Juno kaktus setiap hari Valentine, dan Juno melamun, “Oh, and she inexplicably mails me a cactus every Valentine's Day. And I'm like, ‘Thanks a heap coyote ugly. This cactus-gram stings even worse than your abandonment.’”
Bagaimana ayah Juno menamai anak-anaknya pun menggambarkan kenyentrikan sang ayah. Adik Juno dinamai Liberty Bell? Dan nama Juno diambil dari nama istri Zeus? (Bagaimana Juno menceritakan asal-usul nama ini, dan bagaimana ia berbelok ke Diana Ross, lagi-lagi menunjukkan ketajaman dan humor cerkas Cody.) Dari kenyentrikan ini, kita merasa masuk akal dengan pilihannya atas Bren sebagai istri kedua yang menyimpan kenyentrikan juga (khususnya, waktu ia menggambarkan para dokter di rumah sakit). Dan, kemudian kita pun mungkin takjub tapi tak heran ketika melihat reaksi keduanya saat diberitahu Juno bahwa ia hamil dan akan menyerahkan anaknya untuk adopsi. Kalau dipikir-pikir, pantas saja mereka bereaksi seperti itu.
Dialog-dialog dan terutama semua celetukan dalam film ini, pilihan-pilihan etis para tokoh cerita, tingkah laku para tokoh ini, juga benda-benda yang mengisi hidup para tokoh ini (iklan tawaran orang tua adopsi di koran, minuman, koleksi musik dan DVD, permen, dan sebagainya) membentuk sebuah dunia anak muda Amerika zaman kiwari yang hidup.
Bagaimana Leah, yang tampak agak dungu dibanding Juno, mengucapkan “Phuket, Thailand” seperti mengucap “Fuck!”. Bagaimana ia juga mengucap “Honest to blog?” untuk menyatakan, “sungguhan, nih?” Bagaimana Juno dengan sok tahu mengajari Mark, tentang hari terbaik musik rock adalah dalam konser musik Sex Pistol, pada 1977. Mark dengan geli berkomentar, “tapi kamu kan belum lahir, saat itu?” Bagaimana gambaran klinik aborsi yang depresif secara komikal (penerima tamunya seorang gadis berdandan Punk, asyik mencat kuku, dan menawari Juno kondom rasa buah). Dan yang protes di depan klinik adalah teman sekelas Juno, Su Chin yang pemalu, dan yakin betul bayi dalam kandungan beberapa minggu Juno sudah punya kuku.
Semua itu membentuk sebuah dunia Juno yang utuh dan hidup. Dunia yang, seperti kata salah sebuah artikel di Guardian, menganggap aborsi secara taken for granted. (Jadi, pilihan Juno untuk meneruskan kehamilannya bukanlah sebuah produk budaya antiaborsi yang konservatif. ) Dunia remaja yang persoalan cintanya lebih bernuansa dari apa yang kita saksikan di film-film cinta kita. Dunia yang jauh lebih fasih dari film-film cinta kita dalam mengucapkan ketakpahaman mereka akan cinta, dan akibatnya juga menjadi jauh lebih fasih saat cinta akhirnya diucapkan. Fasih secara kata, tapi lebih-lebih lagi fasih secara visual.
Dalam kefasihan itulah, Juno mengangkat persoalan cinta yang bukan sekadar “apakah dia suka pada saya?” atau “apakah kita akan bersatu (baca: akan pacaran, atau akan kawin akhirnya)”. Persoalan cinta yang kemudian terungkit dalam film ini adalah: bagaimanakah orang bisa bersama selamanya, atau paling tidak, beberapa tahun sajalah?
Ini adalah pertanyaan Juno kepada ayahnya. Saya tak akan memberitahu Anda jawabannya, silakan tonton sendiri. Tapi, saya berani bilang bahwa pertanyaan dan jawabannya menempatkan Juno sebagai sebuah film generasional, film yang menjadi salah satu tanda anak zaman. Persis seperti, misalnya, The Breakfast Club (untuk remaja Amerika 1980-an), Reality Bites (untuk kawula muda Amerika 1990-an), Donie Darko (untuk kawula muda 2000-an, sama seperti Juno ini), Gita Cinta Dari SMA (untuk remaja Indonesia 1980-an), atau Ada Apa Dengan Cinta (untuk remaja Indonesia 2000-an).
5. Jangan lupakan lagu-lagunya
Salah satu tanda penting dari sifat Juno sebagai “film generasinya”, adalah lagu-lagunya. Juno dipenuhi lagu-lagu balada karya musisi muda yang berciri indie. Sekujur film dipenuhi lagu-lagu dari Kimya Dawson. Lagu temanya sendiri, balada imut berjudul Anyone Else But You, adalah dari The Moldy Peaches. Dalam daftar soundtrack, kita membaca judul-judul lagu dari Belle & Sebastian, David Bowie (All The Young Dudes, versi Mott The Hoople). Yang mengejutkan, lagu pembuka film adalah A Well Respected Man dari The Kinks.
Dari lagu pembuka itu, kita segera merasa bahwa ini film indie tenan. Yang menarik, ketika Juno (wakil dari generasi 2000-an) beradu pendapat dengan Mark Loring (wakil generasi 1990-an) tentang pilihan musik dan film mereka. Mark mengenalkan pada Juno cover lagu Superstar dari The Carpenters (grup 1970-an) oleh Sonic Youth. Juno menganggapnya asyik, tapi dalam sebuah letupan marah kemudian, Juno ngenyek album selanjutnya dari Sonic Youth sebagai “it’s all noise!”. Dan inilah sebuah tanda kuat generasi Juno.
Generasi Juno (walau, tentu tak bisa terlalu digeneralisir) tampak cenderung pada kesederhanaan, lebih dari generasi 1990-an. Generasi 1990-an, kita tahu, semangat mereka terutama dibentuk oleh musik rock dari Nirvana, aliran grunge dan garage music dari kota Seattle, Radiohead, R.E.M., dan, yah, Oasis. Tentu, pada saat itu marak pula rave culture dan dance music; musik hip hop gaya blink blink merajai billboard; dan boys band serta Spice Girl pun merajai pasaran musik mainstream. Tapi, semangat pemberontakan kaum muda, yang lazim dianggap sebagai “semangat (anak) zaman”, diwakili oleh Kurt Cobain dan sejenisnya.
Cobain adalah seorang penyair. Kemampuan teknisnya sederhana, tapi ia berhasil menjadi mencipta berisik yang efektif dengan kesederhanaan tekniknya. Tampilannya adalah antitesa dari grup-grup rock serbakostum dan teatrikal dari 1970-an hingga 1980-an. Ia dan kawan-kawannya di Nirvana mau pun grup rock sejenis tampil apa adanya, casual, malah agak sedikit “manis”. Noise masih jadi obsesi. Tapi, tidak bagi kaum youth culture bergaya urban angkatan 2000-an.
Mereka kembali pada balada akustik. Mereka mencipta sejarah tonggak-tonggak rock mereka sendiri –dengan mengambil semangat spontanitas dari musisi Punk sejak Ramones dan Sex Pistols. Mereka masih melanjutkan penerimaan terhadap kesederhanaan melodi, struktur lagu, serta keterampilan musikal seperti pada generasi 1990-an. Tapi mereka mampu mendedahkan kesantaian, yang berkawin dengan kemelimpahan informasi yang mereka punya (kemelimpahan informasi yang memungkinkan Juno bisa sok tahu tentang Punk pada 1977), menjadi sebuah bahasa syair yang khas. Sifat lebih santai, lebih casual generasi ini, membuahkan pemberontakan yang tak bercorak eksistensialis atau “serius” macam Nirvana; corak pemborantakan santai ini lebih condong pada kebermain-mainan.
Simak saja beberapa bait lirik lagu tema Juno. (Adalah Ellen Page yang mengusulkan agar karakter Juno digambarkan menggemari musik-musik dari Kimya Dawson dan The Moldy Peaches).
You're a part time lover and a full time friend
The monkey on your back is the latest trend
Here is the church and here is the steeple
We sure are cute for two ugly people
I will find my niche in your car
With my MP3, DVD, rumble pack guitar
Seolah bisa disimpulkan (walau, tentu, perlu penelitian lebih jauh) bahwa generasi Juno lebih praktis ketimbang nihilistik seperti ciri angkatan 1990-an. Juno memilih melanjutkan kehamilannya, karena tersedia jalan untuk sang bayi berupa mekanisme adopsi yang semakin kerap dan biasa di Amerika; tapi, ia memilih tak mau melihat bayinya, karena sang bayi, praktis, adalah ‘anak orang lain’.
6. Dan moral cerita ini, saat ini, adalah...
“Suatu hari nanti,” kata sang ayah membelai lembut kepala Juno yang kelelahan sehabis melahirkan, “kau akan kembali ke sini, tapi on your terms.”
Sebuah moralitas yang rusak? Tidak. Ini adalah sebuah moralitas lembut, yang bangkit dari puing-puing kehancuran ikatan sosial dalam masyarakat kiwari. Bisakah film remaja kita bicara hal seperti ini? ***

Kamis, 23 Oktober 2008

03-05-08


angka itu hanya aku dan daia yang tahu...

hidup sekali dan matipun sekali begitu juga mencintai hanya satu kali...
ternyata itu jauhhhhh pada diriku...
aku terlalu terbuai oleh angka2 kermat itu...anka cinta itu

tapi semuanya kandas di angka 19-10-08...entah di angka yang keberapa aku bisa memulai lagi menanamkan cintaku untuknya hanya dia yang mampu menjawab angka2 itu...
dari bulan ke hari, dari hari ke jam dari jam ke menit tanpa henti aku pikirakan dia...

keputusannya begitu cepat untuk menjauhiku...aku tau masih ada cinta di hatinya tapi entah apa yang membuatnya begitu kejam lukai hatiku...

getaran cintanya masih saja aku rasakan...malam ini begitu hening dan aku begitu kalut memikirkannya memory ini susah untuk aku hapus...

mengingat tatapannya...

mengingat senyumannya...

mengingat manjanya...

mengingat perhatiannya...

mengingat pujiannya...

dan ingat selalu setiap apa yang dia katakan...

mungkin aku terlau berlebihan terhdapnya...tapi tanpa dia sadari itu bukti bahwa sejatinya cintaku padanya...
hatinya begitu dalam aku lukai...

terlalu sakit baginya memaafkan ku...

maafkan aku...

apa arti cinta bagimu dan bagiku

seandainya kau mengeti...

bahwa cinta yang teruntai mampu menghadang segala badai...

aku yakin aku mampu menghadang badai itu karena cintaku sangat dalam padamu...

tapi apa arti cinta dan kesetiaan yang aku berikan...
jika hanya kau anggap sebagai sebuah bencana bagimu...
begitu besarkah kesalahanku hingga tiada maaf bagimu...

19 oktober 2008

jika yang namanya cinta mampu membangun istana yang begitu megah nana indah. maka cinta juga mampu memporak porandakan benteng nan kokoh sekalipun...

tapi haruskah menyalahkan 'cinta" bukankah dia anugrah yang kuasa.

mungkin dengan sumpah serapah bisa melegakanmu...atau bahkan dengan sebuah tamparan mamapu melegakanmu...

maka biarkan aku merangkak di tengah kegelapan hatimu mencari secercah cahay yang bersinar di hatimu...

isak tangis bukanlah asing bagiku

bukan untuk siapa2 tapi untuk dia

dan itulah aku...ntuknya tuhan

aku bukan siapa2

aku buakanlah orng yang sempurna...

seperti cintaku yang tidak sempurna....
dan mungkin takdir itu sudah di gariskan pada hidupku....

kesempurnaanku hanya untuk dia...ornag yang aku cintai....

namun tuhan tidak adil karena kehendaknya lain...karena aku terlalu di buta akan cinta...
sumber semangant...sumber insvirasiku...sumber kekuatanku...

pergi jauh seakan enggan menoleh ke belakang membiarkan cintaku tertumpah tanpa bisa di pungut dan d sempurnakan...

yah...aku memang bukan orng yang sempurna...semoga suatu saat dia akan mengerti bahwa benih cinta yang aku tanam akan menyegarkan hidupnya dengan wewangin khas cintaku dan dia akan tersadar pada satu hal bahwa...aku sayang dia dan aku sepenuh hati mencintainya...GBU

hmjm ku

alow salam...
semoga kita bisa bangu hmjm yah yang lebih baik lagid ari yang sebelumnya...lagi gak bisa mikir nanti aja bikin kata2